Erupsi Gunung Ibu Saya ingat betul hari itu, awal pagi di sebuah desa kecil di Halmahera Barat, Maluku Utara. Langit yang biasanya cerah berubah kelabu. Udara terasa berat. Saat saya menatap ke arah timur, terlihat gumpalan abu pekat menjulang dari kejauhan. Itu adalah Gunung Ibu, yang baru saja meletus.
Saya tidak pernah menyangka akan menyaksikan sendiri Erupsi Gunung Ibu api aktif. Selama ini, bencana hanya saya dengar lewat berita: Merapi, Semeru, atau Sinabung. Tapi saat hal itu terjadi begitu dekat, semua teori dan pengetahuan terasa tidak cukup.
Detik itu juga, saya sadar bahwa hidup di tanah cincin api bukan hanya tentang keindahan, tetapi juga tentang kesiapan menghadapi amarah alam.
Mengenal Gunung Ibu: Kecil Tapi Aktif dan Berbahaya
Gunung Ibu (1.340 mdpl) memang tidak sepopuler Merapi atau Krakatau, tetapi termasuk salah satu gunung api paling aktif di Indonesia. Terletak di Pulau Halmahera, Maluku Utara, gunung ini masuk kategori stratovolcano, yang berarti letusannya bisa bersifat eksplosif.
Sejak tahun 1998, Gunung Ibu menunjukkan aktivitas vulkanik secara periodik. Bahkan PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) sering menetapkan status Waspada (Level II) atau Siaga (Level III) dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, masyarakat sekitar sudah lama hidup berdampingan dengan gunung ini. Mereka mengenalnya, menghormatinya, dan dalam banyak hal, mengandalkannya sebagai penanda cuaca, sumber air, bahkan mitos lokal.
Namun, Erupsi Gunung Ibu besar yang terjadi pada Maret 2024 mengubah semuanya.
Saat Erupsi Gunung Ibu Terjadi: Antara Panik dan Refleks Bertahan
Saya sedang berada di rumah seorang kerabat ketika suara gemuruh terdengar. Tidak lama kemudian, ponsel saya berbunyi: pesan dari BPBD menyatakan bahwa Gunung Ibu mengalami Erupsi Gunung Ibu dengan lontaran abu vulkanik setinggi 4.000 meter. Status dinaikkan ke Siaga (Level III).
Abu mulai turun seperti hujan ringan. Warga mulai keluar rumah, beberapa dengan masker kain, yang lain hanya menutup hidung dengan tangan. Anak-anak tampak kebingungan. Tua-muda mulai berkumpul di balai desa. Kepala desa memberi instruksi singkat dan tenang.
“Kita sudah latih ini. Yang punya kendaraan, bantu yang lain. Kita ke titik kumpul seperti biasa.”
Saya ikut membantu evakuasi. Rasa panik tetap ada, tapi tidak sampai menyebabkan kekacauan. Warga sudah berkali-kali melakukan simulasi evakuasi bersama BPBD dan relawan. Kali ini, semua itu diuji dalam situasi nyata.
Dampak Langsung: Abu, Kesehatan, dan Ekonomi Lokal
Abu tebal menyelimuti rumah, kebun, dan jalan. Dalam dua jam, jarak pandang turun drastis. Beberapa orang mulai batuk, mata perih. Saya membantu membagikan masker cadangan dari posko desa, meskipun persediaan terbatas.
Dampaknya langsung terasa:
-
Sekolah diliburkan
-
Penerbangan terganggu
-
Hasil kebun gagal panen
-
Sumber air terkontaminasi
Bagi desa yang sebagian besar hidup dari pertanian dan hasil hutan, ini pukulan besar. Pisang, pala, dan cengkeh yang hampir panen terpapar abu. Beberapa petani menangis melihat lahannya tertutup kelabu.
Saya melihat sendiri bagaimana bencana tidak hanya menyerang fisik, tapi juga mental. Banyak warga mengalami kecemasan, khususnya anak-anak dan lansia. Tapi saya juga menyaksikan solidaritas: tetangga saling bantu, pemuda membuka dapur umum, dan relawan dari kota datang membawa bantuan logistik.
Malam di Pengungsian: Dingin, Lelah, Tapi Bersama
Malam itu, saya ikut menginap di salah satu tenda pengungsian darurat. Suasananya penuh campur aduk. Anak-anak tertidur beralaskan tikar, ibu-ibu memasak mi instan dengan peralatan seadanya. Di pojok ruangan, beberapa orang tua membaca doa bersama.
Saya duduk bersama beberapa pemuda. Kami berbicara pelan, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi pertanyaan yang sama terus terulang:
“Berapa lama kita akan di sini?”
“Apakah rumah kita masih aman?”
“Kalau ini makin parah, ke mana kita harus pergi?”
Saya tidak punya jawaban pasti. Tapi satu hal yang saya tahu: pengalaman ini akan mengubah hidup saya selamanya.
Peran Teknologi dan Informasi: Kritis tapi Belum Merata
Satu hal yang saya syukuri adalah sistem peringatan dini yang sudah jauh lebih baik dibandingkan 10 tahun lalu. Aplikasi seperti MAGMA Indonesia dan grup WA desa sangat membantu menyebarkan informasi valid.
Namun, tidak semua warga punya akses internet stabil. Beberapa hanya mengandalkan radio desa atau kabar dari tetangga. Ini menjadi catatan penting: informasi adalah penyelamat, tapi hanya jika bisa diakses semua pihak.
Pelajaran Besar: Mitigasi Bencana Bukan Sekadar Formalitas
Selama ini, saya mengira simulasi evakuasi hanya seremonial. Tapi saat bencana nyata terjadi, saya sadar betapa pentingnya latihan itu.
Karena itu saya sangat percaya bahwa:
-
Pendidikan kebencanaan harus diajarkan sejak SD
-
Simulasi rutin harus diadakan, tidak hanya saat status naik
-
Peran tokoh masyarakat sangat krusial dalam menjaga ketenangan
-
Kesiapan logistik (masker, air bersih, tenda, makanan kering) wajib tersedia minimal 3 hari cadangan
Dari Ketakutan Menuju Adaptasi: Hidup Bersama Gunung Api
Setelah seminggu berlalu dan status Gunung Ibu mulai turun, sebagian warga mulai kembali ke rumah. Saya ikut membantu membersihkan rumah-rumah dari abu. Beberapa genteng rusak, air sumur harus dikuras, tapi warga bersyukur masih hidup.
Saya bertanya pada salah satu bapak tua:
“Pak, apa gak takut tinggal di dekat gunung api?” Ia tersenyum, “Gunung ini sudah ada sebelum saya lahir. Kita hanya numpang hidup. Kalau kita hormati dia, biasanya dia juga kasih tanda dulu sebelum marah.”
Pernyataan itu mengandung filosofi dalam: alam bukan musuh, tapi mitra yang harus dihormati dan dipahami.
Kesimpulan: Erupsi Gunung Ibu adalah Pengingat Kolektif
Bencana, sekacau apapun, selalu membawa pelajaran. Erupsi Gunung Ibu membuat saya lebih menghargai hidup, lebih peka terhadap alam, dan lebih sadar bahwa manusia bukan penguasa, melainkan bagian kecil dari ekosistem besar.
Kita tidak bisa mencegah Erupsi Gunung Ibu. Tapi kita bisa menyiapkan diri, saling menguatkan, dan membangun sistem tangguh di tengah ketidakpastian.
Dan yang terpenting, kita bisa berbagi cerita. Agar pengalaman ini tidak berhenti di tenda pengungsian, tapi menjadi bekal bangsa untuk menghadapi bencana lain yang mungkin datang.
FAQ Tentang Erupsi Gunung Ibu
1. Di mana lokasi Gunung Ibu?
Gunung Ibu terletak di Pulau Halmahera, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.
2. Seberapa sering Gunung Ibu meletus?
Gunung ini termasuk aktif, dengan aktivitas vulkanik periodik sejak 1998.
3. Apa dampak langsung dari erupsi Gunung Ibu?
Abu vulkanik, gangguan pernapasan, rusaknya tanaman, terganggunya penerbangan, hingga evakuasi warga.
4. Bagaimana kesiapsiagaan masyarakat sekitar?
Cukup baik karena adanya simulasi rutin dan koordinasi antara BPBD, relawan, dan perangkat desa.
5. Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu korban Erupsi Gunung Ibu?
Donasi logistik, dukungan psikososial, dan menyebarkan informasi valid.
Baca Juga Artikel dari:
Baca Juga Konten Dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi