Kasus Yandri Susanto

Kasus Yandri Susanto Saya nggak pernah menyangka, sebuah berita soal seorang pejabat negara bisa bikin saya mikir panjang dan sampai nyenggol pertanyaan mendasar: “Apa sebenarnya makna dari kekuasaan?” Awalnya, saya kira kasus Yandri Susanto hanya satu dari sekian banyak drama politik yang biasa lewat di linimasa. Tapi setelah saya dalami, ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil.

Buat yang belum tahu, Kasus Yandri Susanto adalah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT). Namanya belakangan ini ramai dibahas karena dua hal: pertama, dia pakai kop surat kementerian buat undangan acara pribadi—yaitu haul ibunya. Kedua, yang lebih serius, ada dugaan keterlibatannya dalam upaya memenangkan istrinya dalam Pilkada Serang 2024, sampai Mahkamah Konstitusi ikut turun tangan.

Saya tertarik mengangkat ini bukan buat ikut nyinyir atau menghakimi. Tapi karena kasus ini kayak cermin—yang memantulkan kenyataan pahit tentang bagaimana birokrasi kadang diseret-seret ke ranah kepentingan pribadi. Dan sebagai warga biasa yang pernah aktif di komunitas desa, saya merasakan langsung dampaknya.


Saat Politik Tak Lagi Sekadar Urusan Lembaga

Kasus Yandri Susanto

Surat Undangan yang Mengundang Pertanyaan

Jujur, waktu pertama baca berita soal Kasus Yandri Susanto menggunakan kop surat Kementerian Desa buat undangan haul ibunya, saya sempat mikir, “Ah, mungkin dia cuma lupa ganti kertas.” Tapi ternyata nggak sesederhana itu. Undangan itu pakai stempel resmi kementerian dan ditujukan ke para kepala desa dan pejabat daerah.

Bayangkan: pakai fasilitas negara untuk keperluan keluarga. Saya jadi ingat waktu ikut bantu penyusunan proposal desa, betapa ketat dan rinci aturan penggunaan anggaran. Bahkan buat beli alat tulis aja butuh tanda tangan dan laporan lengkap. Tapi pejabat sekelas menteri bisa se-enaknya pakai identitas resmi negara buat urusan pribadi?

Saya nggak bilang haul itu nggak penting. Saya juga sering ikut haul dan paham nilai spiritualnya. Tapi ketika acara keagamaan disandingkan dengan atribut negara, batas antara yang pribadi dan publik mulai kabur. Di sinilah letak masalahnya: penyalahgunaan simbol negara merusak kepercayaan.

Yang bikin saya geram, ada pihak yang membela dengan bilang “niatnya baik.” Tapi bukankah dari dulu kita diajarin, niat baik nggak bisa jadi pembenar cara yang salah?


Ketika Pilkada Jadi Urusan Kementerian

Yang lebih berat dari kasus surat undangan adalah dugaan intervensi Kasus Yandri Susanto dalam Pilkada Serang. Kabarnya, dia menggunakan jabatannya untuk memengaruhi para kepala desa agar mendukung istrinya sebagai calon bupati. Kalau benar, ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi pelanggaran sistem demokrasi.

Saya pernah tinggal di desa, dan saya tahu betul posisi kepala desa itu serba sulit. Mereka ada di bawah tekanan banyak pihak: pemda, partai, masyarakat, dan sekarang—kalau benar—bahkan dari kementerian.

Saya membayangkan gimana rasanya jadi kepala desa yang dapat tekanan langsung dari seorang menteri, disuruh dukung calon tertentu. Apalagi kalau yang nyuruh itu adalah “atasan” secara struktural. Di banyak daerah, relasi semacam ini bisa memengaruhi keputusan proyek, dana desa, bahkan kelangsungan karier kepala desa itu sendiri.

Waktu Mahkamah Konstitusi menyebut bahwa ada “pelanggaran yang bersifat sistematis”, saya langsung kepikiran: sistem kita sedang rapuh. Dan kalau kita, sebagai warga, cuma diam, maka lambat laun etika birokrasi itu hanya akan jadi teks hafalan saat pelantikan.


Refleksi Pribadi dan Momen Frustrasi

Kasus Yandri Susanto

Saya sendiri bukan orang yang anti-politik. Justru saya percaya bahwa politik adalah alat untuk melayani, bukan alat untuk memperkuat dinasti atau gengsi. Tapi kenyataannya, saya sering kecewa.

Ada satu momen yang membekas waktu saya dulu jadi pendamping komunitas di sebuah desa transmigrasi. Kami berjuang buat bikin proposal program sanitasi. Dana disetujui, tapi saat turun, ada “potongan koordinasi” yang katanya untuk “pejabat di atas.” Dan tahu nggak? Itu disuruh langsung oleh oknum di provinsi yang mengaku dekat dengan “atas.”

Saya dan tim protes, tapi ya begitulah. Akhirnya program jalan, tapi kualitasnya menurun. Warga kecewa. Saya malu.

Waktu saya baca kasus Kasus Yandri Susanto, ingatan itu muncul lagi. Bukan karena saya kenal beliau—sama sekali nggak. Tapi karena polanya mirip: kekuasaan disalahgunakan dengan bungkus formalitas.

Dan yang lebih menyakitkan, semua itu dilakukan di atas nama rakyat kecil.


Etika Publik di Era Ketidakpedulian

Kita hidup di zaman yang katanya demokratis, tapi praktiknya sering oligarkis. Elit bisa main di dua lapangan: politik dan birokrasi. Dan ketika pejabat seperti Kasus Yandri Susanto bisa memanfaatkan jabatan untuk kepentingan keluarga, maka publik wajib waspada.

Saya bukan ahli hukum tata negara. Tapi saya percaya, etika publik bukan cuma soal hukum—tapi soal rasa malu dan tanggung jawab. Sayangnya, rasa malu di politik kita kayaknya makin langka.

Kita sering lihat pelanggaran etik dianggap hal biasa. Dulu saya kira ini cuma masalah karakter. Tapi lama-lama saya sadar, ini soal sistem. Sistem yang lemah membuat orang baik pun bisa tergoda menyimpang.

Maka peran kita sebagai masyarakat adalah menjaga suara, bukan hanya saat pemilu, tapi setiap hari—lewat diskusi, edukasi, bahkan tulisan blog seperti ini. Biar ada catatan yang bisa dibaca anak cucu: bahwa dulu, kita pernah bersuara.


Pelajaran untuk Kita Semua

Kasus Yandri Susanto

Saya bukan siapa-siapa. Tapi dari kasus Yandri Susanto, saya belajar banyak:

  1. Jabatan adalah amanah, bukan privilege.
    Sebanyak apapun prestasi seseorang, kalau etika publiknya hancur, maka ia gagal sebagai pemimpin.

  2. Kita harus kritis terhadap simbol kekuasaan.
    Mulai dari surat undangan sampai intervensi pilkada—semuanya harus bisa ditanya, dikritisi, dan dipertanggungjawabkan.

  3. Warga biasa harus berani bertanya.
    Jangan karena yang salah itu pejabat tinggi lalu kita diam. Diam adalah bentuk dukungan terhadap kesalahan.

  4. Jangan cuma nilai dari capaian, lihat juga caranya.
    Kalau pejabat membangun 1000 desa tapi semua didapat dari cara licik, apakah itu layak dibanggakan?


Kekuasaan yang Baik Butuh Warga yang Kritis

Kasus Yandri Susanto mungkin akan lewat, digantikan isu lain, seperti yang biasa terjadi. Tapi semoga tidak hilang begitu saja tanpa bekas. Karena di balik berita, ada pelajaran besar: negara ini bisa rusak bukan karena satu orang jahat, tapi karena banyak orang baik yang diam.

Saya menulis Kasus Yandri Susanto bukan karena benci politik. Justru karena saya masih peduli.

Dan saya harap kamu juga begitu. Karena kalau kita semua mengabaikan etika pejabat, maka suatu hari anak kita bisa bertanya:

“Kenapa pemimpin kita bisa sekuat itu, padahal melanggar etika?”

Dan kita hanya bisa menjawab: karena dulu, kita terlalu diam.

Baca Juga Artikel dari: Erupsi Gunung Ibu: Ketika Alam Mengingatkan Akan Ledakan

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Informasi